Senin, 27 Desember 2010

Terima Kasih, Sebuah Surat Cinta

26 Desember ternyata hari kelabu untuk keluarga kami. Hari itu mama kami tercinta meninggal dunia. Keluarga mengalirkan air mata tanpa henti, saya membeku dalam waktu. Ayah kami meminta anak –anaknya untuk mencium kening mama untuk terakhir kali. Ketika tiba giliran saya, kata – kata yang dapat saya keluarkan hanya : Terima kasih mama, Allahu Akbar, Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Terima Kasih. Hanya itu yang tepat untuk dikatakan.

Segala memori dengan mama berkelebat dalam ingatan. Waktu kecil mama adalah pengusaha salon paling sukses di kota saya. Di jamannya kami bisa dikatakan kami termasuk orang yang berada. Tapi jujurnya masa itu bukan masa yang menarik bagi saya, karena saya selalu merasa rindu dengan mama. Kebanyakan hari – hari saya dilalui dengan nenek, dan ketika nenek meninggal kebanyakan dengan pembantu. Suatu hari mama tidak kerja dan memutuskan bermain dengan saya dan adik full. Hari itu adalah hari yang saya ingat sampai hari ini. Karena hari itu saya ingat betapa bahagianya saya dan adik bisa bermain dengan mama. Saya ingat saya minta untuk bisa main terus sama mama.

Tidak lama kemudian mama memutuskan untuk menutup usahanya dan focus untuk mengurus saya dan adik. Sejak itu kondisi ekonomi keluarga perlahan terus menurun hingga puncaknya ketika saya SMP-SMA dimana kami tidak punya rumah, dan hanya tidur di lantai sebuah kantor. Tapi yang saya ingat walaupun susah secara ekonomi saya tidak pernah merasa susah di hati. Mama kami galak, kami disabet kalau nggak belajar, distrap kalau nggak makan sayur, dimarahin kalau ngepel lantai nggak bersih. Anehnya kami selalu sayang sama mama, karena mama selalu berusaha membuat hari – hari kami special. Mama mendidik kami dengan keras tapi penuh dengan kasih sayang. Mama mengajarkan sederhana tapi tidak kikir. Mama mendorong kami untuk mencapai yang terbaik dengan tidak lupa pada agama. Mama mengajarkan untuk mandiri. Alhamdulillah kami bertiga sekarang punya pendidikan baik, penghasilan cukup, saya sudah berkeluarga dengan istri idaman saya dan memiliki anak – anak yang lucu. Kami yakin tidak akan mendapatkan apa yang kami capai sekarang tanpa mama.

Kalau dipikir mama mampu merintis usahanya dan hidup sebagai orang berada tapi mama memimilih mendidik kami. Mama hanya orang biasa bagi kebanyakan orang tapi bagi kami mama adalah pahlawan. Mama mengorbankan seluruh hidupnya untuk kami. Untuk itu kami tidak bisa berharap lebih banyak lagi, hanya ucapan terima kasih tiada henti yang dapat kami ucapkan. Setiap hari hanya doa yang bisa kami berikan “ Ya Allah sayangilah orang tuaku seperti ketika ia menyangiku ketika aku masih kecil”. Karena tidak bisa dihitung kasih sayangnya pada kami semoga Allah juga sangat menyayanginya.

Terima kasih mama. Nggak ada apapun yang bisa kami lakukan untuk mama yang dapat mengganti apa yang telah mama berikan. Kami hanya bisa berdoa dan terus berusaha untuk menjadi anak yang soleh bagi mama.

Bagi yang masih memiliki ibu, jangan pernah berhenti membahagiakan ibu ketika masih hidup. Hanya itu yang bisa kita lakukan. Jangan pernah menyesal kemudian. Kadang – kadang yang diinginkan ibu hanya hal – hal sederhana, seperti mengunjungi kapan kita mampu.Bukan materi berlimpah. Itulah ibu, kasihnya sepanjang masa,bagai sang surya menyinari dunia, tanpa harap kembali.

Bagi ibu rumah tangga, bagi wanita karir yang memutuskan berhenti untuk mengurus anak –anaknya, jangan pernah anda merasa berkecil hati. Anda adalah pahlawan. Nabi mensejajarkan anda dengan orang yang berjihad di medan perang. Dari keluarga negara ini dibangun. Terus berjuang kaum ibu.

Selasa, 23 November 2010

Appreciation

One young academically excellent person went to apply for a managerial position in a big company.

He passed the first interview; the director did the last interview.

The director discovered from the CV that the youth's academic achievements were excellent all the way, from the secondary school until the postgraduate research, never had a year when he did not score.

The director asked, "Did you obtain any scholarships in school?"

The youth answered "none".

The director asked, "Was it your father who paid for your school fees?"

The youth answered, "My father passed away when I was one year old, it was my mother who paid for my school fees. "

The director asked, "Where did your mother work?"

The youth answered, "My mother worked as laundry woman. "

The director requested the youth to show his hands.

The youth showed a pair of hands that were smooth and perfect.

The director asked, "Have you ever helped your mother wash the clothes before?"

The youth answered, "Never, my mother always wanted me to study and read more books. Furthermore, my mother can wash clothes faster than me. "

The director said, "I have a request. “When you go back today, go and clean your mother's hands, and then see me tomorrow morning.”